Korban Makelar Kredit di Jember
Korban Makelar Kredit, Sertifikat Tanah Milik Warga Jember ini Ditahan Bank Selama 12 Tahun
Korban makelar kredit ketahanan pangan dan energi di Kabupaten Jember mengadu ke DPRD Jember, akibat sertifikat tanah dan bangunan mereka ditahan bank
Penulis: Imam Nawawi | Editor: Sri Wahyunik
TRIBUNJATIMTIMUR.COM, JEMBER - Forum korban makelar Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) mengadu ke Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jember, Senin (21/8/2023).
Mereka mengadu, kalau sertifikat tanah dan bangunan telah ditahan oleh pihak sebuah bank milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Jember. Sertifikat itu ditahan karena pinjaman atau kredit yang telah dilakukan, ternyata bermasalah di tengah proses cicilan berjalan.
Siti Melisa, satu dari belasan korban makelar kredit tersebut mengatakan, Sertifikat Hak Milik (SHM) tanah dan bangunan seluas 1.470 meter persegi ditahan oleh pihak bank sejak Tahun 2012.
"Dan sampai sekarang, sudah 12 tahun ini sertifikatnya tidak bisa keluar," ujarnya.
Menurutnya, kredit fiktif tersebut bermula dari makelar pinjaman bank berinisial N menawarkan adanya kredit pada Tahun 2012 dengan suku bunga sebesar 5 persen setahun.
"Jadi murah banget, karena biasanya kami dapat dari bank BUMN tersebut suku bunganya 12 persen pertahun. Jadi itu murah banget diprogram KKPE ini, sehingga kami tertarik," kata Melisa.
Wanita asal Desa Petung Kecamatan Bangsalsari ini menuturkan SHM itu bisa dipakai untuk pengajuan kredit sebesar Rp 20 juta. Tetapi pada program pemerintah tersebut, diiming-imingi pinjaman sebesar Rp 100 juta.
"Melihat tawaran dengan suku bungan cuma 5 persen. Dan uang pinjamannya lebih besar. Sehingga saya langsung tertarik, karena prosesnya juga mudah," katanya.
Baca juga: Satu Pekerja Pingsan saat Terjadi Kebakaran Kandang Ayam di Blitar
Setelah itu, Melisa mengaku diarahkan oleh makelar yang menjadi ketua Asosiasi Petani Kacang Indonesia Jember ini, untuk ke bank milik BUMN agar menandatangani akad perjanjian pinjaman.
"Itu akadnya sebesar Rp 445 juta. Saya langsung tanya ke notarisnya yang berinisial D, saya bilang kok besar ini, saya kan cuma pinjam Rp 100 juta. Katanya, tidak, itu untuk kelompok," ucapnya.
Dia mengatakan di surat perjanjian tersebut, satu kelompok petaninya itu berisi 10 orang. Sehingga Rp 445 juta ini dibagi untuk anggota kelompok.
"Akhirnya saya bilang, oh iya sudah. Dari situ saya dapat pinjamannya Rp 100 juta, yang lain ada yang dapat Rp 20 juta, ada yang dapat Rp 35 juta. Saya kira sertifikat saya itu, untuk kelompok jadi bukan sertifikat saya saja," urai Melisa.
Setelah penandatangan akad kredit tersebut, dia mengatakan uangnya tidak langsung dicairkan oleh pihak Bank. Katanya, masih harus menunggu selama tiga bulan.
"Biasanya besoknya, atau satu minggunya langsung cair. Nah ini saya malah menunggu pencairan itu sampai tiga bulan. Tetapi pencairan tersebut bukan dari Banknya langsung, tetapi saya dapatnya dari ketua Asosiasi Petani Kacang itu yang berinisial N dapatnya dari sana," imbuhnya.
Uang pinjaman Rp 100 juta ini, kata Melisa, masih dipotong sebesar Rp 4 juta oleh makelar tersebut, yang katanya untuk biaya administrasi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jatim-timur/foto/bank/originals/korban-makelar-kredit.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.