TRIBUNJATIMTIMUR.COM, BANYUWANGI - Tak terhitung jumlah anak muda di Banyuwangi yang lihai membawakan tari gandrung di atas panggung. Akan tetapi, tak banyak dari mereka yang menguasai dan setia pada pakem, sebagaimana para penari gandrung terop legendaris.
Upaya menjaga seni tradisi gandrung terop terus diupayakan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui pewarisan tari gandrung dari para maestro ke murid-muridnya.
Upaya itu salah satunya diwujudkan oleh para periset yang diketuai Prof Novi Anoegrajekti, akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Novi dan para anggota riset lainnya mendorong lahirnya para penari gandrung terop dengan metode nyantrik.
Metode ini memungkinkan para murid belajar secara mendalam soal gandrung terop langsung dari para maestro.
Selain UNJ, riset tersebut juga melibatkan para peneliti dari Institut Seni Budaya Indonesia Bandung dan Universitas Sarjanawiyata Tamanssiwa Yogyakarta.
Mereka mengarahkan tiga perempuan muda di Banyuwangi untuk diasuh langsung oleh para maestro tari gandrung. Maestro-maestro itu adalah Temu Misti, Mudaiyah, dan Sunarsih.
“Jumlah penari gandrung yang menguasai dan setia pada pakem semakin berkurang. Secara berurutan Banyuwangi juga kehilangan tiga penari gandrung (legendaris), yaitu Bu Kusniah, Bu Poniti, dan Bu Supiah,” kata Novi, dalam Diskusi Kelompok Terpumpun (FDG) “Pewarisan Seni Tradisi Gandrung Terop dan Digitalisasi” yang digelar di gelar di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi, Sabtu (24/6/2023).
Selain Novi, forum diskusi itu juga menghadirkan antara lain Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya Prof Setya Yuwana Sudikan, Plh Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Banyuwangi Choliqul Ridho, Ketua Dewan Kesenian Blambangan Hasan Basri, penari gandrung terop legendaris serta para pewarisnya, dan para pelaku kesenian di Banyuwangi.
Baca juga: Kunjungi Festival Arsitektur Nusantara, Direktur Aga Khan Award Terkesan dengan Bandara Banyuwangi
Gandrung terop memang bukan hanya soal keelokan gerak tubuh. Pentas kesenian itu juga memiliki beberapa pakem adegan, mulai dari topengan, jejer gandrung, repenan, paju, dan seblang-seblang.
Sebagian besar penari gandrung saat ini memotong beberapa adegan untuk memangkas waktu. Alasan lain penghilangan adegan tertentu karena sang penari tak menguasai lagu dan iringan berbagai alat musik dalam pertunjukan.
“Sebagian besar penari gandrung cenderung mengubah dengan mengurangi adegan ‘padha nonton’. Karena terlalu panjang, yaitu enam bait. Kecenderungan lainnya adalah meniadakan adegan ‘seblang subuh’ dan ‘seblang-seblangan’,” tambah Magister Koorprodi Linguistik Terapan Pascasarjana UNJ itu.
Saat ini, penari yang masih menguasai dan mengaplikasikan pakem-pakem gandrung dalam pentasnya antara lain para maestro. Maka dari itu, mereka diharapkan bisa mewariskan ilmunya kepada tiga anak muda asli Banyuwangi yang punya minat dan bakat terkait tari gandrung.
“Melalui metode nyantrik, tidak hanya pengetahuannya saja yang diambil, tapi kalau bisa njobo-njero ngangsu kawru,” kata Yuwana.
Istilah jawa yang dimaksud oleh Yuwana merujuk pada pencarian ilmu mendasar yang tak hanya sekadar belajar ilmu praktik-teori. Tapi pembelajaran yang mendalam langsung dari sang guru.
“Dalam dunia seni tradisi, ada yang namanya pewaris aktif dan pasif. Para penikmat adalah para pewaris pasif. Sementara para pelakunya adalah para pewaris aktif,” tambahnya.