Agrowisata Buah Naga

Asa PLN Sinari Si Naga Listrik Banyuwangi: Panen Tiada Henti, Wisata Tak Pernah Mati

Listrik dan buah naga di Banyuwangi berpendar berpadu cantik di malam hari, menjadikan panen buah naga lebih lama, plus jadi jujugan wisatawan

Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Sri Wahyunik
TribunJatimTimur.com/Aflahul Abidin
Hendro Prasetyo dan Naning Tri Rahayu di kebun buah naga area Agrowisata Naga Listrik di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi. 

Setrum Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang menyalakan lampu dan menyinari pohon buah naga di tempat ini tak sekadar membuat proses pembuahan berlangsung sepanjang tahun. Lebih dari itu, destinasi wisata yang menghidupi puluhan warga juga bisa terus berjalan.

--

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, BANYUWANGI - BAK dirapalkan mantra "abrakadabra", dua ratusan lampu light-emitting diode (LED) menyala seketika saat jarum jam menunjuk tepat pukul enam sore. Saat itu pertengahan September 2023. Matahari baru saja meninggalkan ufuk. Binar jingga menyala di langit sisi barat.

Hanya dalam waktu sepersekian detik, lanskap di kebun buah naga Agrowisata Petik Jeruk dan Naga Listrik di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi tiba-tiba beralih dari gelap menjadi gemerlap.

Tentu saja, nyala ratusan lampu di agrowisata itu bukan akibat sihir. Titik-titik sinar yang berderet di antara pohon-pohon buah naga tersebut berasal dari setrum PLN yang menyalur ke lampu-lampu.

"Jumlah lampu di sini ada empat ratus. Satu pohon, satu lampu. Tapi nyalanya bergantian. Otomatis lewat timer yang kami pasang," kata Hendro Prasetyo.

Hendro dan istrinya Naning Tri Rahayu (43) mengelola Agrowisata Naga Listrik di bawah naungan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Sekar Naga Arum. Hendro lebih banyak berkutat mengurus tanaman. Sementara Naning dibantu sekitar 20 anggota pokdarwis fokus mengelola wisata.

Luas lahan destinasi wisata itu sekitar 1 hektare. Seperempatnya adalah kebun yang menjadi tempat hidup empat ratus pohon buah naga.

Lampu-lampu LED berdaya 7 watt dengan warna cahaya kekuningan dipasang berjajar di antara pohon buah naga. Lampu dipasang dengan ketinggian sekitar 1,5 meter atau setara dengan tinggi pohon.

Masing-masing lampu dihubungkan dengan kabel yang berujung pada meteran listrik berdaya 5.500 volt ampere (VA). Dua unit timer terpasang di instalasi untuk mengatur agar lampu menyala bergantian. Separuh benderang pukul enam sore hingga dua belas malam. Separuh lainnya berpendar mulai dua belas malam hingga lima pagi.

Lampu yang nyala dan padam dibedakan per baris. Tujuannya agar tumbuh bunga buah naga tidak serentak. Jadi, satu pohon bisa berbuah di waktu yang bergantian nantinya.

Dengan pertanian tradisional tanpa bantuan sinar lampu, pohon buah naga memiliki masa pembuahan sekali dalam setahun. Pembuahan alami itu terjadi sekitar November hingga Maret. Sinar lampu saat off season berfungsi sebagai pengganti cahaya matahari dalam proses fotosintesis.

Cahaya lampu mendorong pengembangan kuncup bunga. Bunga yang mekar sepenuhnya atau mengalami antesis ini kemudian berubah menjadi buah. Dampaknya pohon bisa berbunga sepanjang waktu. Masa pembuahan pun berlangsung terus menerus.

Di Kabupaten Banyuwangi, penyinaran buah naga mulai marak sejak sekitar 2015. Awalnya, para petani bereksperimen di tanaman buah naga dekat rumah. Proses trial and error berlangsung.

Awalnya para petani, termasuk Hendro, menggunakan bohlam lampu ulir berwarna putih dengan watt besar. Namun, hasilnya dianggap kurang maksimal. Mereka pun mencari alternatif lain.

"Akhirnya para petani mendapatkan komposisi yang dianggap paling tepat, yakni memakai lampu LED berdaya 7-8 watt dengan warna cahaya kekuningan. LED bisa dipakai karena yang dibutuhkan bukan panas lampunya. Tapi cahayanya," ujar Hendro.

Dengan lampu LED, petani merasa lebih mudah dan enteng. Di lahan yang Hendro kelola, misalnya, pencahayaan dengan lampu bohlam bisa menelan biaya hingga Rp 1,5 juta per bulan. Sementara dengan lampu LED, uang yang perlu dikeluarkan hanya sepertiganya.

Dampak penggunaan lampu bagi para petani tergolong signifikan. Mereka kini bisa memanen buah naganya sepanjang tahun. Saat "musim lampu" harga buah naga juga relatif tinggi. Itu tak lepas dari tambahan biaya operasional akibat penggunaan daya listrik.

"Kalau pas musim panen raya tanpa lampu, harga antara Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu per kilogram. Kalau pakai lampu, harganya antara Rp 15 ribu hingga Rp 20 ribu," tambah dia.

Dengan harga yang naik lebih dari dua kali lipat itu, para petani justru untung besar meski mereka harus mengeluarkan modal tambahan guna membayar listrik.

"Kalau listriknya lumayan murah. Sebulan kira-kira Rp 500 ribu. Yang mahal biaya instalasi awal dan sarananya. Saya memasang instalasi tahun 2018, habis sekitar 40 juta. Tapi, modal itu sudah tertutup pada tahun pertama," sambung Hendro.

Hendro mencontohkan, tiap batang pohon buah naga bisa menghasilkan minimal 2 kg buah dalam sekali panen musim lampu. Itu jumlah minimal. Realitasnya bisa dua kali lebih banyak. Dengan prakiraan minimal itu saja, total buah yang berhasil dipanen dari 400 batang sekitar 8 kwintal.

Dengan harga minimal Rp 15 ribu, Hendro bisa mengantongi Rp 12 juta setiap kali panen. Biaya produksi di luar investasi instalasi listrik kurang dari Rp 4 juta.

"Kalau pakai lampu, masa panennya itu sekitar 25 hari sekali. Lebih lama memang dibanding saat tidak pakai lampu yang masa panennya maksimal 15 hari. Tapi hasilnya lebih besar karena harganya lebih mahal," ucapnya.

Dengan bantuan lampu, produktivitas buah naga bisa digenjot antara dua hingga tiga kali dibanding tanpa lampu.

Penggunaan cahaya lampu untuk membantu proses fotosintesis tanaman bunga dan buah sebenarnya bukan hal baru. Cara itu lazim dilakukan di negara-negara yang durasi siangnya tak selama negara yang berada di daerah khatulistiwa seperti Indonesia.

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Jember Prof Soetriono menjelaskan, penggunaan cahaya lampu membuat proses fotosintesis pada tanaman buah naga berlangsung lebih lama.

"Lampu ibaratnya sinar matahari yang digunakan untuk fotosintesis. Matahari efektif hanya menyinari antara tujuh sampai delapan jam sehari. Nah, kalau malam pakai lampu, proses fotosintesis bisa berlangsung selama 24 jam," kata dia.

Meski demikian, penggunaan cahaya lampu pada tanaman buah naga bukan tanpa dampak negatif. Menurut Soetriono, hal itu dapat mengakibatkan usia ekonomis tumbuhan berkurang.

"Buah naga kalau disinari 24 jam, pasti akan mempercepat produksi. Tapi karena dipaksa, dari awalnya berfotosintesis hanya delapan jam sehari menjadi 24 jam, usia ekonomis pohonnya akan lebih pendek. Kalau satu pohon usia normalnya bisa 15 tahun, bisa lebih pendek dari itu," katanya.

Soetriono mengibaratkan hal tersebut seperti penggunaan kendaraan bermotor. Kendaraan, kata dia, sangat memungkinkan untuk dipacu dengan kecepatan maksimal hingga 180 kilometer per jam secara kontinu. Namun, jika hal tersebut terus dilakukan, usia mesin pasti berkurang signifikan.

"Di Indonesia usia mobil bisa awet hingga sepuluh sampai dua puluh tahun karena penggunaannya selalu di kecepatan yang wajar. Itu analoginya," tambahnya.

Lalu, apakah penggunaan sinar lampu juga berpengaruh terhadap kualitas buah?

Menurut Soetriono, kualitas buah, terutama dari sisi rasa, dipengaruhi oleh banyak hal. Penggunaan lampu sebagai bagian dari electrifying agriculture tak bisa dijadikan satu penyebabnya.

"Karena unsur manis penyebabnya banyak hal. Misalnya jenis atau varietasnya buahnya, cara budidayanya, jenis tanahnya, bahkan mungkin juga jenis lampunya," kata dia.

Dari pengalaman Hendro, kualitas buah naga tak berbeda saat musim panen alami maupun musim lampu. Manis-tidaknya buah, kata dia, lebih banyak ditentukan oleh faktor musim.

Saat musim kemarau, rasa buah naga cenderung lebih legit. Hal serupa sebenarnya juga terjadi pada buah-buahan lain.

 

Wisata yang Menghidupi Banyak Orang

LEBIH dari seratus orang memadati Agrowisata Naga Listrik, Sabtu (23/12/2023) siang. Mereka berasal dari berbagai daerah, mulai dari Sekitar Banyuwangi, Surabaya, hingga Jakarta.

Wisatawan itu sibuk dengan kegiatan masing-masing. Puluhan orang menjinjing keranjang anyaman dan mengitari kebun. Mengenakan capil bak petani, mereka memetik buah-buah yang telah matang dengan gunting khusus. Buah itu kemudian dibawa ke area utama berupa anjungan yang luas. Sebagian buah mereka nikmati di sana bersama kolega. Sisanya ditimbang untuk dibawa pulang.

"Kalau wisata petik buah, pengunjung di sini boleh ambil sepuasnya asal dimakan di sini. Kalau dibawa pulang, ditimbang dulu. Bayarnya sesuai harga di pasaran," kata Naning.

Tarif masuk ke Agrowisata Naga Listrik Rp 20 ribu per orang. Selain buah naga, wisatawan juga bisa memetik jeruk yang tumbuh subur di agrowisata itu. Jeruk yang saat itu tengah berbuah berjenis siam dan lemon.

Destinasi agrowisata ini memiliki beberapa fasilitas. Mulai dari kafe yang menyatu dengan anjungan, area bersantai menyantap buah, rumah pintar, beberapa unit saung, dan yang terbaru bangunan green house untuk mengembangan budidaya buah naga warna-warni.

Di luar area destinasi, ada juga lapak-lapak UMKM yang berjejer di sepanjang jalan raya menuju lokasi agrowisata.

Mayoritas fasilitas itu dibangun melalui dana tanggung sosial dan lingkungan PLN. Sejak 2019 hingga kini, PLN rutin menyalurkan bantuan ke destinasi itu.

"Jika ditotal, sudah lebih dari Rp 600 juta. Itu termasuk hadiah yang kami dapat saat meraih penghargaan Indonesian CSR Awards 2020 kategori platinum," tambah Naning.

Berkat besarnya peran PLN, tak berlebihan bila destinasi tersebut memakai embel-embel nama "listrik" sebagai daya pikat wisatawan.

Menurut ibu dua anak itu, peran PLN dalam pengembangan destinasi agrowisata cukup besar. Selain sarana-prasarana, keberadaan listrik yang tersalur di kebun untuk menyinari pohon buah  naga juga berperan signifikan.

Agrowisata Naga Listrik dirintis sekitar 2009. Saat itu, instalasi listrik belum terpasang. Belum ada lampu-lampu yang membantu proses fotosintesis. Perkebunan masih bersifat konvensional mengandalkan musim panen alami.

Alhasil, wisata petik buah hanya bisa dinikmati saat musim panen yang durasinya cukup pendek. Wisatawan yang datang di luar musim itu akan kecele karena tak ada buah yang bisa dipetik.

"Sejak pakai lampu lima tahun terakhir, buah tumbuh sepanjang tahun. Kapan saja wisatawan datang, mereka bisa memetik buah," terangnya.

Agrowisata Naga Listrik berada di kebun yang lokasinya sekitar 100 meter dari jalan utama menuju Pantai Pulau Merah, salah satu destinasi wisata kondang di Banyuwangi.

Jarak agrowisata dengan Pantai Pulau Merah hanya sekitar 10 kilometer (km) atau 20 menit perjalanan dengan kendaraan roda dua maupun empat. Kedekatan jarak ini membuat agrowisata biasa dijadikan jujukan pelancong yang berlibur di Banyuwangi Selatan.

Selain dua destinasi itu, wisatawan juga bisa menyusuri destinasi lain seperti Hutan De Djawatan, Pantai Teluk Hijau, Pantai Mustika, dan pusat penangkaran penyu di Pantai Sukamade.

"Setiap akhir pekan, jumlah pengunjung rata-rata 500 orang per hari. Banyak juga yang dari luar pulau, seperti Sumatera, Kalimantan, hingga Papua," ucap Naning.

Banyaknya wisatawan menimbulkan efek domino bagi masyarakat. Mereka turut berkontribusi menyuplai berbagai kebutuhan wisatawan. Saat banyak wisatawan ingin memborong buah naga, Naning akan meminta petani sekitar untuk memasok.

Puluhan pelaku UMKM juga biasa berjualan di sekitar Agrowisata Naga Listrik. Warga juga mulai banyak yang mengembangkan jajanan olahan buah naga. Salah satu yang populer adalah dodol.

Anggota Pokdarwis membuat dodol menggunakan kompor induksi yang – lagi-lagi – didapat dari bantuan tanggung jawab perusahaan PLN. Menurut Naning, penggunaan kompor tersebut lebih menguntungkan daripada penggunaan kompor gas elpiji. Meski, daya yang dibutuhkan untuk menghidupkan kompor tersebut tidaklah kecil.

"Tapi lebih hemat. Sebulan kira-kira habis Rp 100 ribu. Itu juga buat yang lain-lain, seperti peralatan rumah tangga," katanya.

Saat elpiji susah didapat, mereka juga tak risau. Kompor tetap bisa digunakan selama tak terjadi pemadaman.

Naning mengakui, merintis Agrowisata Naga Listrik tak mudah membalikan telapak tangan. Ketika pandemi Covid-19, destinasi praktis tak dikunjungi orang.

Akan tetapi, perputaran uang tetap berjalan. Kebutuhan pasar yang besar akan buah-buahan, termasuk buah naga, membuat pengelola kebanjiran pesanan.

Butuh waktu yang cukup panjang dan berliku, memang, dalam mengembangkan Agrowisata Naga Listrik. Tak sesederhana merapal kalimat-kalimat mantra seperti para penyihir di serial film televisi.

 

Terbesar di Indonesia

PENGGUNAAN sinar lampu pada tanaman buah naga membuat produktivitas tanaman ini meningkat pesat. Data Dinas Pertanian dan Pangan Banyuwangi menyebut, produktivitas buah naga bisa naik dua hingga tiga kali lipat saat petani memanfaatkan lampu untuk membantu proses fotosintesis tanaman.

Produktivitas buah naga dengan model pertanian konvensional hanya menghasilkan rata-rata 14 ton buah per hektare setiap tahun.

"Dengan menggunakan lampu, produktivitasnya bisa meningkat menjadi rata-rata 26 ton per hektare per tahun," kata Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Banyuwangi Ilham Juanda.

Tingginya produktivitas itu, Ilham menjelaskan, membuat Banyuwangi menjadi daerah pemasok buah naga terbesar di Indonesia. Luas perkebunan tanaman itu mencapai 3.786 hektare yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni Purwoharjo, Bangorejo, Tegaldlimo, Siliragung, dan Pesanggaran.

Jumlah luasan lahan itu naik hampir tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, luasan lahan buah naga di Banyuwangi hanya 1.362 hektare.

Pada Maret 2022, buah Naga asal Banyuwangi juga telah merambah ke pasar luar negeri. Pelepasan ekspor perdana dikirim ke beberapa negara di Asia dan Eropa.

Pesatnya pengembangan buah naga di Banyuwangi tak bisa dilepaskan dari peran PLN setempat. Program listrik masuk kebun membuat petani buah naga lebih produktif. Data per 12 Desember 2023 menunjukkan, sebanyak 7.559 petani buah naga di Banyuwangi telah menikmati sambungan listrik di lahan mereka. Jumlah itu setara dengan 82,7 persen dari total petani buah naga di daerah ujung timur Pulau Jawa itu.

“Untuk total daya, kami menyalurkan sebesar 29,799 juta VA,” kata Manajer PLN UP3 Banyuwangi Agus Santoso.

Selain meningkatkan produksi, kehadiran program listrik masuk kebun juga membuat minat petani untuk menanam buah naga makin besar. Dari tahun ke tahun, luasan lahan tanaman itu bertambah signifikan. 

 

Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur

(Aflahul Abidin/TribunJatimTimur.com)

 

 

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved