Kisah Pekerja Migran

Kisah Pilu Perempuan Calon Pekerja Migran di Malang, Ijazah Ditahan dan Kerja Paksa Tanpa Dibayar 

Calon pekerja migran di Malang mendapat perlakuan yang mengenaskan. Tidak kunjung diberangkatkan, bahkan ijazah ditahan dan disuruh kerja paksa. 

Editor: Haorrahman
TribunJatimTimur.com/Kukuh Kurniawan
TUNTUT KEADILAN - Salah seorang CPMI (jaket hitam) yang menjadi korban eksploitasi dari PT NSP Malang menangis saat menceritakan kejadian yang dialaminya, Senin (28/4/2025). Diketahui, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mendampingi para korban dalam mencari keadilan. 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Malang — Calon pekerja migran di Malang mendapat perlakuan yang mengenaskan. Tidak kunjung diberangkatkan, bahkan ijazah ditahan dan disuruh kerja paksa. 

Kasus ini bermula dari penggerebekan yang dilakukan Satreskrim Polresta Malang Kota pada 8 November 2024 lalu, di dua lokasi tempat penampungan ilegal Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) milik PT NSP di Malang, di Kecamatan Sukun, Kabupaten Malang.

Dalam operasi tersebut, dua orang ditetapkan sebagai tersangka: Hermin (45) yang bertindak sebagai penanggung jawab penampungan, dan Ade (37) yang menjabat kepala cabang PT NSP wilayah Malang.

Dari hasil penyidikan, diketahui bahwa PT NSP belum mengantongi izin resmi saat mulai memberangkatkan pekerja migran ke Hongkong. Selain Hermin dan Ade, polisi juga menetapkan satu tersangka tambahan, Alti Baiquniati (34), yang berperan sebagai perekrut dan tangan kanan Hermin.

Baca juga: Marko Simic Full Senyum? Eks Pelatih Kans Balik Persija, Bomber Kroasia Potensi Dipertahankan

Salah satu korban berinisial RY, warga Malang menceritakan, dirinya dipaksa bekerja di warung makan milik RY, suami dari tersangka Hermin (45). Ia dipaksa bekerja hingga 17 jam sehari tanpa menerima bayaran, dengan dalih mengikuti pelatihan.

"Saya dipekerjakan di warung milik RY, bekerja selama 17 jam dan tidak diberi upah. Harusnya kami sudah diberangkatkan, ternyata tidak jadi. Saya mohon agar RY yang ikut terlibat ini dihukum berat," ujarnya sambil menahan tangis, Senin (28/4/2025).

Pengalaman serupa juga disampaikan korban lain berinisial LA (50). Ia mengatakan, selain dirinya, ada empat orang lain yang turut dipekerjakan secara bergiliran di warung tersebut tanpa kompensasi apa pun.

Baca juga: Bursa Transfer Liga Inggris: Imbas Ipswich Town Degradasi, Chelsea Bisa Datangkan 1 Pemain Incaran

"Setiap orang mendapat giliran kerja, termasuk tugas berat seperti memotong 20 kilogram bawang, tanpa menerima upah sepeserpun," ujarnya.

Selain kerja paksa, para korban juga mengalami penahanan dokumen pribadi seperti KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran, hingga ijazah asli. Sebanyak 47 CPMI diketahui masih belum mendapatkan kembali dokumen mereka.

"Semua dokumen asli masih mereka tahan. Kami diminta menyerahkan dokumen asli saat pendaftaran dan hingga sekarang tidak dikembalikan," jelas LA.

Ketika ditanya alasan tidak segera melapor kepada pihak berwajib, LA mengaku dirinya dan rekan-rekannya diliputi rasa takut.

"Kami takut tidak diproses dan malah tidak diberangkatkan," tambahnya.

Dalam upaya menuntut keadilan, para korban mendapatkan pendampingan dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI). Dina Nuriyati, Dewan Pertimbangan SBMI, menjelaskan bahwa laporan dari korban telah diterima sejak awal Maret 2025.

Baca juga: Gotong Royong Entaskan Kemiskinan, Bupati Ipuk Kembali Gulirkan Bedah Rumah Warga Miskin

"Kami menerima aduan dari enam korban, empat berasal dari Malang dan dua dari Banyuwangi," jelas Dina.

Menurut Dina, para CPMI tersebut menjadi korban eksploitasi yang dibungkus dengan kedok pelatihan, yang seharusnya difokuskan pada keterampilan seperti merawat bayi, lansia, atau pekerjaan rumah tangga, sesuai tujuan pengiriman mereka ke luar negeri.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved