Opini
Big Data dan Etika: Mengapa Kita Harus Kritis dalam Era Datafikasi
Pernahkah Anda bertanya ke mana perginya data pribadi Anda setelah mengakses aplikasi kesehatan?
TRIBUNJATIMTIMUR.COM - Di era digital saat ini, kehidupan manusia secara perlahan namun pasti tengah “ditransformasikan menjadi data.” Mulai dari jejak pencarian di Google, unggahan di Instagram, hingga rekam jejak kesehatan melalui aplikasi kebugaran, semuanya menghasilkan data. Proses ini dikenal dengan istilah datafikasi, yaitu perubahan aktivitas sosial dan kehidupan sehari-hari menjadi representasi digital yang dapat dikumpulkan, disimpan, dan dianalisis.
Pernahkah Anda bertanya ke mana perginya data pribadi Anda setelah mengakses aplikasi kesehatan, belanja online, atau sekadar check-in di mal, contohnya melalui aplikasi PeduliLindungi?
Pada puncak pandemi COVID-19, jutaan warga Indonesia secara rutin menggunakan PeduliLindungi untuk memindai QR code sebelum masuk tempat publik. Aplikasi ini mengumpulkan data lokasi, status vaksinasi, dan riwayat perjalanan, semuanya dilakukan demi tujuan kesehatan masyarakat. Namun, setelah pandemi mereda, publik mulai mempertanyakan: Siapa yang mengelola data tersebut? apakah datanya dihapus, disimpan, atau digunakan untuk tujuan lain? apakah kita pernah benar-benar memberikan persetujuan yang sadar dan sukarela?
Inilah contoh nyata dari datafikasi, yakni proses di mana aktivitas sehari-hari kita diubah menjadi data digital yang dapat dianalisis, digunakan, bahkan diperdagangkan. Di Indonesia, proses ini terjadi secara cepat namun sering tanpa kerangka etika yang kokoh atau partisipasi publik yang memadai.
Fenomena inilah yang menjadi fokus kajian Critical Data Studies (CDS) bidang kajian yang tidak hanya mempelajari data, tetapi juga mengkritisi siapa yang mengumpulkannya, untuk kepentingan apa, dan siapa yang diuntungkan atau dirugikan. Critical Data Studies (CDS) suatu bidang studi interdisipliner yang berkembang cepat di tengah kekhawatiran global akan penyalahgunaan data.
Data Bukan Netral: Kekuasaan dan Kepentingan di Balik Big Data
Dalam buku The Big Data Agenda (2018), Annika Richterich menyoroti bagaimana perusahaan teknologi seperti Google dan Facebook tidak hanya mengumpulkan data, tetapi juga menentukan siapa yang boleh mengaksesnya, dan bagaimana data itu digunakan. Bahkan, penelitian ilmiah kini bergantung pada data yang dikendalikan korporasi, menciptakan hubungan saling ketergantungan yang rawan bias nilai dan konflik kepentingan.
CDS hadir sebagai respons terhadap dominasi pandangan teknokratis yang menganggap data sebagai sesuatu yang netral, objektif, dan bebas nilai. Padahal, data adalah konstruksi sosial hasil dari keputusan politik, ekonomi, dan teknologi. Dalam banyak narasi teknologi, data sering digambarkan sebagai sesuatu yang “netral”, “obyektif”, dan “fakta murni”. Namun, pendekatan Critical Data Studies (CDS) membantah klaim ini. Data bukan sekadar catatan pasif, melainkan hasil dari serangkaian proses, mulai dari siapa yang mengumpulkan, untuk apa, hingga bagaimana data itu diproses dan digunakan.
Menurut Annika Richterich dalam bukunya The Big Data Agenda, data selalu melibatkan relasi kuasa, terutama ketika perusahaan besar atau lembaga negara memonopoli akses dan kontrol atas data yang dihasilkan masyarakat. Bahkan dalam penelitian ilmiah, keterlibatan data komersial seperti dari media social bisa mengaburkan batas antara riset objektif dan kepentingan ekonomi.
Pada tahun 2022 sebagai contoh lain, pemerintah Indonesia melalui PT Pertamina meluncurkan kebijakan subsidi bahan bakar berbasis digital melalui aplikasi MyPertamina. Warga yang ingin membeli BBM subsidi diwajibkan mendaftarkan data pribadi dan kendaraannya. Dalam praktiknya Warga harus menyerahkan NIK, nomor polisi kendaraan, dan data teknis mobil/motor, aplikasi ini juga terhubung dengan sistem lain milik pemerintah (seperti Dukcapil dan Samsat).
Namun muncul pertanyaan kritis:
Apakah semua warga benar-benar memahami bagaimana data itu digunakan?
Siapa yang mengendalikan data tersebut apakah PT Pertamina, Kementerian ESDM, atau pihak ketiga (vendor teknologi)?
Apakah data ini bisa digunakan untuk profiling perilaku konsumsi energi atau bahkan ditransfer ke pihak swasta?
Dalam kajian Big Data Governance in Indonesia (Gunawan & Setiadi, 2023), disebutkan bahwa kurangnya transparansi dan perlindungan hukum membuat kebijakan digitalisasi publik rawan penyalahgunaan kekuasaan dan membuka celah komersialisasi data warga tanpa sepengetahuan mereka.
Dengan demikian, data tidak lagi berdiri sebagai “fakta netral”, melainkan bagian dari infrastruktur kekuasaan yang menentukan siapa yang mendapatkan layanan, siapa yang dikategorikan layak atau tidak, bahkan siapa yang mendapatkan atau kehilangan subsidi.
Persoalan Etika di Balik Riset Berbasis Big Data
Riset yang menggunakan Big Data, terutama di bidang kesehatan masyarakat, membawa implikasi etis yang serius. Di satu sisi, data digital dapat dimanfaatkan untuk melacak wabah, memprediksi tren penyakit, atau mengukur perilaku berisiko. Namun di sisi lain, banyak dari data tersebut berasal dari media sosial atau perangkat digital yang tidak pernah dimaksudkan untuk keperluan penelitian ilmiah, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengguna sadar data mereka digunakan untuk riset? apakah ada persetujuan yang sah dan transparan? siapa yang bertanggung jawab bila terjadi penyalahgunaan?
Contohnya adalah studi analisis Twitter untuk mendeteksi pola stres atau gangguan mental, yang dilakukan tanpa pemberitahuan kepada pengguna. Meskipun tujuannya untuk kebaikan publik, praktik ini menimbulkan perdebatan tentang batas antara kepentingan umum dan hak privasi individu. Big data juga telah merevolusi cara kita melakukan penelitian mulai dari analisis opini publik melalui media sosial hingga pemantauan persebaran penyakit menular. Namun di balik manfaat dan efisiensinya, muncul pertanyaan etis yang kompleks dan sering kali diabaikan.
1. Masalah Persetujuan yang Tidak Jelas (Informed Consent)
Nota Keuangan RAPBN 2026, Said Abdullah : Realistis! |
![]() |
---|
Said Abdullah : Puncak Bulan Bung Karno 2025 di Pusara Beliau di Kota Blitar |
![]() |
---|
Ketua Banggar DPR : Indonesia Perlu Desak PBB Sanksi Israel |
![]() |
---|
Kenegarawanan Megawati dan Prabowo di Peringatan Hari Pancasila |
![]() |
---|
Tantangan Pemerintah Antisipasi shortfall Pajak Imbas Rendahnya Harga Komoditas Ekspor |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.