Berita Jember

Puluhan Sopir Ambulans Desa di Jember 7 Bulan Tak Digaji, Terpaksa Nyambi Kerja Serabutan

Regulasi ini menghapus status tenaga honorer yang tidak terdaftar dalam basis data Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Penulis: Imam Nawawi | Editor: Haorrahman
TribunJatimTimur.com/Imam Nawawi
TIDAK GAJIAN: Leo Arta Pranata saat ditemui di rumah adiknya di Perumahan Kawasan Kelurahan Baratan, Kecamatan Patrang Jember, Jawa Timur, Jumat (15/8/2025). Sopir ambulan Desa Arjasa Jember ini tetap bertahan meskipun tujuh bulan tidak gajian. 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Jember - Sudah tujuh bulan terakhir, Leo Arta Pranata, sopir ambulans Desa/Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember, Jawa Timur, tetap bekerja meski tidak menerima gaji. Leo merupakan satu dari 56 sopir ambulans desa di Jember, yang terdampak regulasi baru Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023.

Regulasi ini menghapus status tenaga honorer yang tidak terdaftar dalam basis data Badan Kepegawaian Negara (BKN). Akibatnya mereka tidak lagi menerima gaji dari Dinas Kesehatan Jember sejak Januari 2025.

“Karena masalah usia yang sudah mendekati masa pensiun dan masa kerja kurang dari dua tahun, kami tidak bisa mendaftar sebagai PPPK. Ternyata, kalau tidak bisa daftar, gaji juga tidak bisa dicairkan,” kata Leo, Jumat (15/8/2025).

Untuk menghidupi istri dan tiga anaknya yang salah satunya masih berusia satu tahun, Leo terpaksa mencari pekerjaan tambahan. Ia kerap menjadi sopir pengantar katering atau mengantar anak tetangga sekolah.

“Kalau antar katering, sehari kadang dapat Rp 100 ribu. Kalau antar anak sekolah, karena dekat, kadang dikasih Rp 20 ribu. Lumayan, meski tidak setiap hari,” ujarnya.

Kesulitan semakin terasa ketika memasuki tahun ajaran baru. Anak sulungnya membutuhkan seragam, sepatu, dan tas. Untungnya, ada saudara yang membantu dengan membelikan tas dan perlengkapan sekolah.

Baca juga: Bapenda Bondowoso Pastikan Tak Ada Kenaikan Tarif PBB

Selain itu, Leo juga menunggak cicilan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) selama tiga bulan. 

“Cicilan rumah per bulan Rp 750 ribu. Biasanya saya bayar dari gaji, tapi sekarang tidak ada pemasukan tetap,” ungkapnya.

Sebelum regulasi baru berlaku, Leo menerima gaji pokok sebesar Rp 1.750.000 per bulan. Kini, ia hanya mendapat uang jasa pelayanan (japel) dari Puskesmas yang jumlahnya tidak menentu.

“Kadang Rp 200 ribu, kadang Rp 300 ribu, terakhir saya dapat Rp 500 ribu,” katanya.

Meski begitu, Leo memilih tetap bekerja. Ia dan rekan-rekannya beranggapan selama mobil ambulans belum ditarik, mereka masih dianggap aktif bertugas.

Baca juga: Harjakasi ke-207, Bupati Rio Usung Konsep “Miniatur Indonesia” Lewat Baju Adat Nusantara

“Kami juga menunggu regulasi baru dari pemerintah supaya gaji bisa dicairkan lagi. Kami sudah komunikasi dengan dinas, bahkan bersurat ke Bupati dan DPRD, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan,” ujarnya.

Bagi Leo, menjadi sopir ambulans bukan sekadar pekerjaan, melainkan panggilan hati. Ia khawatir jika dirinya mundur, masyarakat akan kesulitan mendapatkan layanan darurat.

“Kami sudah dikenal masyarakat sebagai sopir ambulans. Kalau kami mundur sementara pemerintah tidak boleh merekrut pegawai baru, nanti saat warga butuh, siapa yang menolong?” tuturnya.

Leo telah mengabdi sebagai sopir ambulans di bawah kendali Puskesmas Arjasa sejak 2022. Meski gaji macet, ia berkomitmen untuk tetap berada di belakang kemudi ambulans demi masyarakat yang membutuhkan.

Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur

Ikuti saluran whatsapp, klik : Tribun Jatim Timur

(TribunJatimTimur.com)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved