Berita Lumajang

Ironi Petani Padi di Lumajang, Masalah Kesejahteraan Hingga Ancaman Alih Fungsi Lahan

Mahal harga beras di Lumajang rupanya tidak sebanding dengan potret Kesejahteraan Buruh tani

Penulis: Erwin Wicaksono | Editor: Sri Wahyunik
TribunJatimTimur.com/Erwin Wicaksono
Petani di Desa Boreng, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur menanam bibit padi di lahan basah 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, LUMAJANG - Antrean panjang masyarakat untuk mendapatkan harga pangan murah mengkiaskan ironi di wilayah agraris seperti Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Beberapa waktu lalu, harga beras di Kabupaten Lumajang sempat menjadi yang tertinggi di Jawa Timur dengan harga Rp 16 ribu hingga Rp 17 ribu per kilogram untuk jenis premium. Sedsngkan medium mencapai Rp 15 ribu per kilogram. 

Saat ini, pantauan di pasaran, Rabu (13/4/2024) beras di Lumajang masih terpantau fluktuatif dengan pasaran harga Rp 15 ribu per kilogram.

Guna menekan harga komoditas pangan yang kerap fluktuatif, Pemerintah Kabupaten Lumajang beberapa kali melakukan operasi pasar. Terbaru, operasi pasar dilakukan di Kawasan Wonorejo Terpadu pada Jumat (8/4/2024). 

Di tengah tren kenaikan harga beras yang masih fluktuatif, sosok penting di balik suksesnya panen beras hingga bisa dikonsumsi justru jauh mencapai kesejahteraan. Mereka adalah petani.

Sukarsan (57) petani asal Desa Galingan, Kecamatan Lumajang, Kabupaten Lumajang mengaku pusing meratapi harga beras yang naik.

Ia bahkan harus menghemat kebutuhan konsumsi beras keluarganya lantaran upah yang terbatas.

Siang itu, saat ditemui di sawah yang ia kerjakan Sukarsan banyak bercerita mengenai suka duka pekerjaannya.

Meski beras naik, upah Sukarsan sebagai buruh tani ternyata tidak ikutan naik. Sehari, ia hanya mendapat upah Rp 50 ribu untuk menggarap lahan hampir seluas 1 hektar di Desa Boreng, Kecamatan Lumajang, Jawa Timur. 

Sukarsan bekerja ketika ada panggilan dari pemilik lahan untuk menggarap sawah.

"Saya diberi upah Rp 50 ribu setiap satu kali bekerja. Saat ini sudah mulai masa tanam. Ya tentu kalau harga beras naik dengan upah sebesar itu ya harus menghemat," ujarnya saat hendak mencabut bibit padi untuk ditanam di lahan basah.

Di usia senjanya, Sukarsan mengaku tak memiliki  opsi lain selain bekerja sebagai buruh tani. Dengan sepeda kayuh sederhananya, Sukarsan menuju sawah dan bekerja dari pagi hingga matahari mulai terik.

Periode kerja Sukarsan juga tak menentu. Ia menjelaskan periode sibuk ia bekerja hanya pada waktu masa tanam dan waktu panen. Jika dikalkulasi, dalam sebulan, Sukarsan belum tentu bekerja dan mendapat upah selama 30 hari penuh.

Ketika musim kemarau tiba, Desa Boreng kerap terdampak kekeringan lantaran aliran irigasi belum maksimal usai jebolnya Dam Gambiran Lumajang. Pada periode tersebut, Sukarsan harus mencari alternatif pekerjaan di tanaman lain. Salah satunya adalah menjadi buruh tani lahan jagung.

"Di tanaman jagung juga tidak ideal, serangan hamanya juga tak main-main, belalang yang paling sering kalau di sini," keluhnya.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved