Opini
Pemanfaatan Artificial Intelligence atau AI Dalam Penegakan Hukum di Bidang Pasar Modal
Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) Dalam Penegakan Hukum di Bidang Pasar Modal
TRIBUNJATIMTIMUR.COM - Dalam beberapa hari belakangan ramai dibicarakan penggunaan AI dalam menganalisis tingkat kebohongan seorang Menteri terkait kebijakan di sektor energi dengan menggunakan bantuan teknologi AI. Pernyataan Menteri dimaksud, oleh salah seorang netizen, dianalisis menggunakan Deception Face Analysis (DFA) yang menariknya adalah tingkat kejujuran (truthness level) dari AI dimaksud disajikan secara kuantitatif secara prosentase. Secara umum, jika dilihat dari video yang diunggah oleh netizen tersebut, cara kerjanya adalah menganalisis ekspresi mikro (micro expression) si target yang selanjutnya oleh si AI akan membaginya dalam 3 kategori warna berdasarkan truthness level yakni, hijau, kuning, dan merah, berikut prosentase angkanya.
Menarik untuk diperhatikan bahwa penggunaan teknologi dalam mengukur tingkat kejujuran atas pernyataan seseorang telah lama dikembangkan. Setidaknya, di bidang penegakan hukum pidana, telah dikenal sebuah alat bernama poligraf atau pendeteksi kebohongan (lie detector) untuk menguji dan menentukan pernyataan seorang terdakwa ataupun saksi dalam pemeriksaan oleh kepolisian.
IPoligraf pertama kali ditemukan oleh William Moulton Marston seorang psikolog Amerika, yang mana memiliki kemampuan untuk melakukan deteksi dan perekaman berbagai gejala fisik atau indikasi-indikasi spesifik, misalnya perubahan denyut nadi, perubahan tekanan darah, pernapasan, dan sebagainya. Atas temuan William Moulton ini, selanjutnya dikembangkan oleh seorang kriminolog John Larson, yang pada akhirnya disempurnakan oleh rekannya Leonarde Keeler.
Dikutip dari website Paulekman.com, pada prinsipnya mesin poligraf tidak mendeteksi apakah terdapat kebohongan pada seseorang, namun hanya mendeteksi tanda-tanda emosi dan memerlukan penyelidikan lebih lanjut.
Pada kasus pembunuhan yang melibatkan mantan Kepala Divisi Propam Polri Irjen Sambo beberapa waktu yang lalu, kepolisian juga menggunakan poligraf dalam menguji keterangan para tersangka. Dalam kesaksiannya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Aji Febriyanto Arrosyid (2022) yang merupakan ahli di bidang poligraf, memaparkan hasil pengujian poligraf terhadap para tersangka di hadapan majelis hakim.
Kedudukan Alat Penguji Kebohongan dalam Pembuktian Tindak Pidana
Dalam pembuktian mens rea atas pelanggaran pidana bukanlah hal yang mudah bagi Penyidik. Penyidik seringkali mengalami kesulitan untuk membuktikan unsur niat pelaku pidana dalam rangka pemenuhan unsur “kesengajaan” dalam pasal pidana. Meskipun telah banyak ahli hukum yang merumuskan berbagai macam bentuk unsur dalam menjabarkan kesengajaan, namun karena sifatnya yang abstrak, pembuktian terhadap adanya niat dan kesengajaan pelaku pidana kerap kali menjadi perdebatan.
Dalam proses penyidikan, telah dikembangkan metode scientific criminal investigation, yakni proses pembuktian dengan metode ilmiah guna membuktikan suatu tindak pidana, mulai dari fisika forensik, kimia biologi forensik, dokumen dan uang palsu forensik, dan balistik dan metalurgi forensik. Pengujian keterangan terhadap seseorang yang terindikasi melakukan tindak pidana menggunakan alat lie detector, merujuk Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009, merupakan salah satu cabang dari fisika forensik. Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 13 Peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 mewajibkan adanya persetujuan dari pihak yang akan dilakukan pemeriksaan poligraf, dan persetujuan dimaksud juga wajib diketahui oleh kuasa hukum yang bersangkutan. Lebih lanjut, pihak-pihak yang akan diperiksa menggunakan poligraf harus memenuhi kualifikasi Kesehatan baik secara fisik maupun psikis, dan tidak dalam keadaan tertekan. Hal ini tentu merupakan bentuk perlindungan hak terhadap terperiksa, dan selain itu diberikan hak menolak untuk diperiksa menggunakan alat poligraf jika pihak dimaksud tidak berkenan.
Selanjutnya jika ditinjau berdasarkan Pasal 184 KUHAP, alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Lebih lanjut dalam Pasal 188, disebutkan bahwa alat bukti petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya, dan petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Sehingga dalam hal ini, hasil uji poligraf yang mana diperoleh dari hasil pemeriksaan saksi ataupun terdakwa, dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti petunjuk dalam persidangan pidana.
Penggunaan Teknologi AI dalam Penegakan Hukum di Bidang Pasar Modal
Penegakan hukum di bidang pasar modal seringkali menghadapi hambatan. Meningkatnya kompleksitas serta semakin canggihnya modus pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku pelanggaran, menjadi tantangan tersendiri dalam pengungkapan motivasi (kehendak) maupun niat pelaku pidana dalam kasus-kasus pelanggaran di pasar modal.
Dalam beberapa pasal pidana di Undang-undang Pasar Modal (UUPM), mengharuskan pemenuhan unsur delik materiil, yakni terpenuhinya suatu kondisi yang dikehendaki oleh pelaku pelanggaran pidana. Sesuai karakteristiknya, white-collar crime, pelanggaran di pasar modal membutuhkan serangkaian pembuktian yang rumit serta tidak mudah mengingat melibatkan orang-orang yang memiliki kecakapan serta pengetahuan yang baik (well trained/educated person). Selain itu, pembuktian maksud dan tujuan yang dikehendaki oleh pelaku pelanggaran bersifat abstrak yang hanya ada di dalam pikiran si pelanggar.
Sebagai contoh, pelanggaran manipulasi pasar, setidaknya diperlukan serangkaian pembuktian untuk meyakinkan apakah pihak-pihak yang diduga melakukan transaksi efek berupa saham misalnya, mentransaksikan saham dan menghendaki harga saham dimaksud sampai ke level harga tertentu (goreng-menggoreng saham). Perlu diketahui, harga efek di pasar modal sangatlah sensitif terhadap setiap isu, rumor, informasi, dan atau peristiwa tertentu.
Dalam hal ini, UUPM bermaksud melindungi Pemodal dalam berinvestasi, sehingga OJK berperan dalam menjaga pergerakan harga efek di pasar modal bergerak sesuai dengan fundamental pasarnya – tanpa campur tangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Contoh lainnya adalah pelanggaran pidana informasi orang dalam atau yang lazim dikenal sebagai insider trading, apakah seseorang mentransaksikan sahamnya berdasarkan informasi orang dalam yang diperolehnya secara illegal. Dalam pembuktiannya, pelanggaran insider trading seringkali mengalami kesulitan karena penyampaian informasi orang dalam (insider information) tidak dilakukan secara surat menyurat ataupun tertulis.
Big Data dan Etika: Mengapa Kita Harus Kritis dalam Era Datafikasi |
![]() |
---|
Said Abdullah : Puncak Bulan Bung Karno 2025 di Pusara Beliau di Kota Blitar |
![]() |
---|
Ketua Banggar DPR : Indonesia Perlu Desak PBB Sanksi Israel |
![]() |
---|
Kenegarawanan Megawati dan Prabowo di Peringatan Hari Pancasila |
![]() |
---|
Tantangan Pemerintah Antisipasi shortfall Pajak Imbas Rendahnya Harga Komoditas Ekspor |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.