Demo Sopir Truk
Demo Sopir Truk, Massa Ancam Akan Menginap Jika Tak Ada Kesepakatan
Aksi ini menjadi bentuk penegasan atas tujuh tuntutan yang mereka anggap krusial bagi kelangsungan profesi dan kesejahteraan para sopir logistik.
Penulis: Fatimatuz Zahro | Editor: Haorrahman
TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Surabaya – Ribuan sopir truk yang tergabung dalam Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT) kembali menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jawa Timur, Jalan Pahlawan, Surabaya, Kamis (19/6/2025). Aksi ini menjadi bentuk penegasan atas tujuh tuntutan yang mereka anggap krusial bagi kelangsungan profesi dan kesejahteraan para sopir logistik.
Ketua GSJT, Angga Firdiansyah, menegaskan massa tidak akan membubarkan diri sebelum ada tanggapan konkret dan kesepakatan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Baca juga: Padati Jalan Nasional, Ratusan Sopir Truk di Trenggalek Unjuk Rasa Tolak Revisi UU ODOL
“Kami berharap bisa diterima Pemprov Jatim dan mendapatkan kesepakatan yang berpihak pada nasib kami. Jika tidak, kami akan tetap bertahan dan menginap di sini,” kata Angga dalam orasinya.
Massa aksi terlihat membawa sound system besar dan dua buah keranda yang dijadikan simbol matinya keadilan bagi para sopir logistik. Simbol tersebut menyampaikan pesan bahwa kebijakan yang berjalan saat ini dirasa menekan dan mengabaikan keberlangsungan kerja sopir.
Baca juga: Demo Sopir Truk, Bentangkan Bendera Merah Putih dan Arak Keranda Mayat di Surabaya
“Keranda itu kami bawa sebagai lambang dari keadilan yang sudah ‘mati’ bagi para sopir,” lanjut Angga.
Dalam aksinya, GSJT menyampaikan tujuh tuntutan utama kepada pemerintah daerah, yaitu:
Hentikan razia ODOL (Over Dimension Over Loading) secara sepihak.
Terbitkan regulasi tarif angkutan logistik agar tidak terjadi penekanan sepihak dari pemilik barang.
Revisi dan evaluasi UU Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009 yang dianggap tidak relevan dengan kondisi lapangan saat ini.
Baca juga: 1.200 Sopir Bakal Kepung Kota Surabaya, Long March Bawa Bendera Merah Putih Sepanjang 1 Km
Beri perlindungan hukum untuk sopir, terutama dalam kasus kecelakaan atau kehilangan barang.
Berantas pungli dan premanisme yang masih sering dialami sopir di lapangan.
Wujudkan kesejahteraan sopir melalui sistem kerja dan pendapatan yang manusiawi.
Terapkan kesetaraan perlakuan hukum, tanpa diskriminasi terhadap profesi sopir.
Menurut Angga, para sopir bukan menolak kebijakan ODOL secara keseluruhan, namun menilai penerapannya belum siap dilakukan secara merata di Indonesia.
“Indonesia belum sepenuhnya siap menerapkan ODOL. Pemerintah seharusnya mengawalinya dengan regulasi yang jelas, termasuk penetapan tarif logistik. Saat ini tidak ada aturan resmi soal tarif—semuanya hanya berdasarkan kesepakatan antara sopir dan pemilik barang,” tegasnya.
Ia menambahkan, muatan berlebih sering kali dilakukan bukan karena kemauan sopir, tetapi karena tuntutan industri dan pasar. Jika sopir menolak muatan, mereka berisiko tidak mendapat pekerjaan.
“Selama ini kami mengangkut melebihi kapasitas bukan karena ingin, tapi karena kebutuhan industri. Jika tidak mau, ya kami tidak diberi muatan,” jelasnya.
Baca juga: Hari Buruh 2025, Puluhan Warga Demo di depan Gedung DPRD Jember
Angga juga mengingatkan penerapan ODOL secara ketat tanpa solusi jangka panjang akan berdampak pada harga bahan pokok dan material bangunan.
“Kalau kebijakan ini terus dipaksakan, harga sembako dan material pasti naik. Ujung-ujungnya yang rugi juga masyarakat luas,” ujar Angga.
Ia menambahkan, dalam praktik di lapangan, sopir kerap menanggung risiko penuh atas kerusakan atau kehilangan barang. “Jika barang rusak atau hilang, sopir yang tetap diminta tanggung jawab,” tambahnya.
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur
Ikuti saluran whatsapp, klik : Tribun Jatim Timur
(TribunJatimTimur.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.