Warisan Budaya Takbenda
Ngetung Batih, Tradisi Trenggalek yang Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda
Tradisi Ngetung Batih telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia asli Kabupaten Trenggalek
TRIBUNJATIMTIMUR.COM, TRENGGALEK - Tradisi Ngetung Batih telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia asli Kabupaten Trenggalek.
Sebelum Ngetung Batih, sejumlah upacara adat dan makanan khas juga telah dipatenkan menjadi milik Kabupaten Trenggalek.
Mulai dari Upacara Adat Sembonyo pada Tahun 2015, lalu makanan tradisional Lodho pada Tahun 2016, dan Upacara Adat Sinongkelan pada Tahun 2021.
"Alhamdulillah pada Tahun 2023 ini, Ngetung Batih bisa ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia asli Kabupaten Trenggalek," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Trenggalek, Sunyoto, Senin (6/11/2023).
Terdekat, Pemkab Trenggalek akan mengusulkan Ritual Dam Bagong sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia asli Kabupaten Trenggalek.
Sunyoto menjelaskan untuk mendapatkan pengakuan tersebut bukanlah hal yang mudah, seperti Ngetung Batih yang sudah diusulkan sejak Tahun 2021 namun baru bisa didapatkan pada Tahun 2023.
"Harus bisa memaparkan secara detail bagaimana perjalanan sejarahnya, originalitas dan juga pelestariannya seperti apa," lanjutnya.
Sejarah Ngetung Batih sendiri bermula pada tahun 1.600 an saat Sultan Agung Mataram mengutus Sentono Projo untuk melihat kondisi masyarakat di Selatan Jawa.
Baca juga: Revitalisasi Pasar Banyuwangi, Bupati Ipuk: Jadi Pusat Perbelanjaan dan Destinasi Wisata Sejarah
"Tugas tersebut dilakukan agar kebijakan yang diambil bisa sesuai dengan kondisi masyarakat setempat," jelas Sunyoto.
Salah satu yang dilakukan oleh utusan tersebut adalah Ngetung Batih atau menghitung cacah jiwa yang dimulai dari setiap kepala keluarga atau setiap rumah.
Hal tersebut ternyata diteruskan oleh masyarakat Kecamatan Dongko yang dilakukan setiap bulan Suro atau setiap tahun baru untuk melihat perkembangan penduduk selama setahun terakhir.
"Tradisi ini juga dilakukan dalam satu rangkaian tasyakuran menyambut tahun baru," paparnya.
Jumlah cacah jiwa dilaporkan ke ketua adat atau kepala pemerintah setempat dengan membawa Takir Plontang sesuai jumlah anggota keluarganya.
"Misalnya anggota keluarganya 5, jumlah Takir Plontangnya juga 5 buah, tapi biasanya ditambah 1 lagi yang diletakkan di depan rumah sebagai tolak balak," jelas Sunyoto.
Takir Plontang yang lain lalu dibawa ke Onderan atau pada zaman sekarang disebut kantor kecamatan.
Lokasi Ngetung Batih bisa saja dipindahkan ke lokasi lain sesuai kesepakatan para tetua adat.
"Dalam upaca adat saat ini, Takir Plontang diarak dari Kantor Desa Dongko menuju Kecamatan Dongko," tambah Sunyoto.
Sesampainya di Kantor Kecamatan Dongko, Takir Plontang lalu didoakan oleh sesepuh yang selanjutnya dipurak atau diperebutkan oleh masyarakat.
Selain Takir Plontang, masyarakat juga berlomba mendapatkan ayam yang dilepaskan oleh sesepuh serta hasil bumi Kecamatan Dongko sebagai wujud syukur atas melimpahnya panen sekaligus permohonan agar tanah Dongko tetap subur.
"Ngetung Batih ini biasanya akan diikuti oleh keramaian masyarakat selama sepekan. Karena ada pagelaran wayang, lalu tayuban, jaranan, dan kesenian lainnya," jelas Sunyoto.
Hal tersebut secara tidak langsung juga menggerakkan roda perekonomian masyarakat di Kecamatan Dongko.
"Ngetung Batih ini juga memupuk rasa kerukunan, kegotongroyongan, sehingga layak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia asli Kabupaten Trenggalek," pungkasnya.
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur
(Sofyan Arif Candra/TribunJatimTimur.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.