Tolak Revisi UU Penyiaran
Akademisi Unmuh Jember Sebut Revisi UU Penyiaran Reaksi Penguasa Membatasi Aktivitas Jurnalisme
Akademisi Unmuh Jember menilai revisi UU Penyiaran sebagai reaksi penguasa untuk Membatasi Aktivitas jurnalisme di Indonesia
Penulis: Imam Nawawi | Editor: Sri Wahyunik
TRIBUNJATIMTIMUR.COM, JEMBER - Akademisi Universitas Muhammadiyah Jember Suyono, SH, M.I.Kom angkat bicara mengenai rancangan revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, dan kini menuai kritik dari kalangan aktivis media.
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmuh Jemberini mengatakan, poin yang paling krusial berada di Pasal 50 B Ayat (2) revisi UU Penyiaran yang melarang penayangan konten eksklusif jurnalisme investigasi.
Menurutnya, pasal di draf revisi UU tersebut jelas bertentangan dengan semangat Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kebebasan jurnalis dalam menyangkan karyanya.
"Pasal ini tampaknya sebagai reaksi 'penguasa' untuk membatasi aktivitas jurnalisme yang dikembangkan para jurnalis media. Melalui siaran podcast dengan memanfaatkan media baru melalui platform media sosial," ujarnya dalam keterangan tertulis, Jumat (17/5/2024).
Padahal, kata Suyono, beberapa media di Jakarta dan kota lainnya telah mengembangkan jurnalisme investigasi sebagai bahan perbincangan, dan diskusi publik melalui media sosial.
"Informasi dan data lengkapnya ditulis dan dipublikasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik," tuturnya.
Memang selama ini, Suyono mengakui dalam ranah hukum masih terdapat perdebatan terkait definisi penyiaran, antara siaran terprogram dengan siaran langsung yang dipancarkan melalui media sosial.
"Karena dianggap sebagai produk webcasting (internet/jaringan yang terhubung) dan bukan produk penyiaran (menggunakan sinyal). Terlepas dari perdebatan bentuk medianya yang jelas, jurnalisme investigasi merupakan produk pers yang harus dijamin kebebasannya," kata dia.
Oleh karena itu, Suyono menyarankan agar anggota Baleg DPR RI segera mengundang Dewan Pers, pakar jurnalistik/penyiaran, dan organisasi profesi wartawan dalam pembahasan draf revisi UU Penyiaran tersebut.
"Pelibatan media diharapkan dapat meredam gejolak di kalangan awak media. Sekaligus mengakhiri polemik terkait kontroversi revisi UU Penyiaran yang semakin tajam," katanya.
Mengingat, kata dia, sudah waktunya anggota DPR RI melakukan reorientasi tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota dewan, yang merupakan representasi kedaulatan rakyat.
"Harusnya DPR menjadi kepanjangan tangan rakyat dan menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya. Terutama saat anggota dewan, melaksanakan tugas dan fungsinya dalam hal legislasi," jlentrehnya.
Karena praktik yang dilakukan DPR RI pada rezim ini, kata Suyono, terkesan lebih banyak menyuarakan kepentingan pemerintah bahkan melindungi kekuasaan untuk keberlangsungan penguasa demi kepentingan kelompok elit.
"Hal ini tercermin dari sikap dan tindakan DPR RI yang tampak selalu reaksioner menyikapi setiap perkembangan yang terjadi. Terutama perkembangan media yang bertransformasi dengan cepat seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini," ucapnya.
Sikap anggota dewan seperti ini, kata dia, jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa, penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.