Ribuan Orang di Ritual Larung Sembonyo, Ungkapan Syukur Nelayan Prigi dalam Tradisi Labuh Laut

Ritual budaya ini bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat nelayan Teluk Prigi atas hasil tangkapan laut yang melimpah.

Editor: Haorrahman
TribunJatimTimur.com/sofyan arif chandra
LABUH LAUT: Labuh Laut Larung Sembonyo di Desa Tasikmadu, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Minggu (18/5/2025). Labuh Laut Larung Sembonyo merupakan upacara adat masyarakat nelayan Teluk Prigi sebagai ucapan rasa syukur atas rezeki yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa sekaligus permohonan keselamatan untuk tahun selanjutnya. 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Trenggalek – Ribuan warga tumpah ruah di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Minggu (18/5/2025), untuk menyaksikan salah satu tradisi tahunan paling ikonik di pesisir selatan Jawa Timur, Upacara Labuh Laut Larung Sembonyo.

Ritual budaya ini bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat nelayan Teluk Prigi atas hasil tangkapan laut yang melimpah, sekaligus doa untuk keselamatan dan hasil laut yang lebih baik di masa mendatang.

Prosesi dimulai dengan arak-arakan dua tumpeng utama: tumpeng manten dan tumpeng agung. Keduanya dibawa dari Kantor Kecamatan Watulimo menuju Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Prigi, menempuh jarak sekitar 3 kilometer.

Baca juga: GELOMBANG Pemain Asing Out dari Persib Bandung Kans Bertambah, Klub Liga Thailand Jadi Aktor Terbaru

Sepanjang rute arak-arakan, ribuan warga memadati sisi jalan. Tak hanya datang untuk menyaksikan tumpeng, mereka juga menikmati penampilan beragam kesenian tradisional seperti jaranan, marching band, hingga pertunjukan rakyat lainnya.

Sesampainya di pelabuhan, kedua tumpeng ditarik ke tengah laut untuk dilarung—dilarutkan ke laut lepas sebagai simbol persembahan dan doa.

Menurut Sunyoto, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Trenggalek, Labuh Laut Larung Sembonyo merupakan bentuk kearifan lokal yang sarat makna.

"Upacara adat ini adalah wujud rasa syukur nelayan Prigi atas karunia hasil laut selama setahun terakhir, sekaligus doa agar di tahun berikutnya hasil tangkapan lebih melimpah," ujar Sunyoto.

Meski tahun ini dukungan anggaran dari pemerintah terbatas, semangat gotong royong masyarakat tetap tinggi. Sunyoto menilai kemandirian para nelayan menjadi kunci terselenggaranya acara ini.

Baca juga: Simone Inzaghi dan Inter Milan Panen Kritikan, Sang Kakak Beri Pembelaan: Tidak Masuk Akal

"Tahun ini masyarakat nelayan Prigi lebih mandiri. Dukungan dari pemerintah memang tidak sebesar sebelumnya, karena efisiensi anggaran. Tapi berkat kekompakan warga, tradisi ini tetap bisa digelar," imbuhnya.

Sunyoto juga berharap agar tradisi budaya seperti ini tidak hanya dilestarikan, tetapi juga dikembangkan untuk mendatangkan manfaat ekonomi bagi masyarakat Watulimo.

Suparlan, seorang budayawan asal Watulimo, menjelaskan bahwa upacara Sembonyo tak hanya sarat makna spiritual, tapi juga memiliki akar sejarah yang kuat.

Baca juga: Sound Horeg Setinggi 5 Meter Jatuh Timpa Dua Anak di Bondowoso, Alami Luka Kepala hingga 7 Jahitan

Menurutnya, tradisi ini berawal dari kisah Raden Tumenggung Yudho Negoro, tokoh yang membuka wilayah Prigi. Dalam prosesnya, ia harus menikah dengan Putri Gambar Inten, seorang tokoh dari daerah Tengahan. Pernikahan itu dilakukan pada hari Senin Kliwon, yang kemudian diperingati setiap tahun dengan upacara Larung Sembonyo.

"Saat itu Raden Tumenggung meminta agar pernikahannya dikenang setiap tahun melalui Labuh Laut. Ia juga meminta hiburan berupa Tayub dan Jaranan, yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi ini," jelas Suparlan.

Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur

Ikuti saluran whatsapp, klik : Tribun Jatim Timur

(Sofyan Arif Chandra/TribunJatimTimur.com)

Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved