Kuliner Bondowoso

Ada Sejak 1985 Bubur Ketan Hitam dan Kacang Hijau Pak Samuji Bondowoso Selalu Habis Terjual

Bubur ketan hitam dan kacang hijau Pak Samuji merupakan kuliner legendaris sejak 1985 dan selalu ludes setiap hari.

Penulis: Sinca Ari Pangistu | Editor: Haorrahman
TribunJatimTimur.com/Sinca Ari Pangistu
KULINER LEGENDARIS: Bubur Pak Samuji. Bubur legendaris di Bondowoso saat menunjukkan sendok bubur yang digunakannya sejak 1985, Minggu (2/11/2025). Samuji telah berjulan bubur sejak 1985 atau 40 tahun lamanya. 

Ringkasan Berita:
  • Bubur ketan hitam dan kacang hijau Samuji paling diburu saat Car Free Day Bondowoso.
  • Di hari biasa Sarmuji jualan di Jl. Letnan Sudiono.
  • Bubur ketan hitam dan kacang hijau Samuji sudah eksis sejak 1985.
  • Harga Rp 5.000 per mangkuk, selalu ludes terjual.
  • Tidak ada penerus, kuliner legendaris ini terancam punah.

 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Bondowoso - Di tiap pelaksanaan Car Free Day di sekitar Alun-alun Ki Bagus Asra Bondowoso, terdapat ada satu kuliner yang paling diburu masyarakat yakni bubur ketan hitam dan kacang hijau Samuji, yang telah ada sejak 40 tahun lalu. 

Samuji mempertahankan cita rasa hingga penyajian yang khas sejak 1985. Bahkan rombong warna biru muda tetap sama selama lebih dari empat dekade.

Di hari biasa, Samuji yang kini berusia 65 tahhun menjajakan buburnya di Jl. Letnan Sudiono, Kelurahan Dabasah. Saat Car Free Day dia mangkal di sisi barat Gerbong Maut dekat Alun-alun Ki Bagus Asra.

“Mulai jam 07.30 sudah berangkat dari rumah. Tapi kadang baru sampai di tempat jualan jam 9 atau 10, karena banyak yang beli di jalan,” ujarnya.

Baca juga: Mencicipi Kuliner Khas Warung Pak To Tuban, Belut dan Becek Mentok

Selalu Ludes

Samuji merantau dari Solo ke Bondowoso, sebenarnya hendak jual bakso di tahun 1980-an. Namun saat itu dia justru melihat peluang, tidak ada penjual bubur di Bondowoso.

“Kebetulan tahun itu belum ada bubur,” katanya.

Dia mulai meracik bubur ketan hitam dan kacang hijau dengan resep racikan sendiri, bukan warisan turun-temurun.

Awal merintis, Samuji berkeliling mendorong rombong hingga 3 km setiap hari. Baru pada 1990, dia memutuskan untuk mangkal dan sejak itu buburnya selalu habis bahkan sebelum tiba di tempat jualan.

Dalam sehari dia menghabiskan 6 kg ketan hitam, 6 kg kacang hijau, dan 15 butir kelapa untuk santan.

“Bahan-bahanya banyak, tapi tidak susah dicari,” ujar suami Mariam itu.

Baca juga: CFD Hadir Lagi di Jalan A. Yani, Bupati Ipuk: Warga Bisa Healing Sambil Urus KTP dan Jajan Kuliner

Meski selalu ludes terjual, Sarmuji tetap mempertahankan harga yang terjangku, hanya Rp 5.000 per mangkuk.

“Tidak ambil untung banyak, yang penting lancar,” jelasnya.

Masak Sendiri Setiap Hari

Untuk menjaga konsistensi dan kekhasan rasa, Samuji memasak sendiri seluruh proses pembuatan. Mulai dari merendam bahan, memasak hingga mengatur rasa garam dan gula.

Dia memasak mulai sore. Menggodok bubur mulai pukul 01.30 hingga 04.00 dini hari. Agar bubur tetap panas saat dijual, dia gunakan bara arang pohon lantoro yang diletakkan di rombong.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved