Agrowisata Buah Naga
Asa PLN Sinari Si Naga Listrik Banyuwangi: Panen Tiada Henti, Wisata Tak Pernah Mati
Listrik dan buah naga di Banyuwangi berpendar berpadu cantik di malam hari, menjadikan panen buah naga lebih lama, plus jadi jujugan wisatawan
Penulis: Aflahul Abidin | Editor: Sri Wahyunik
Mayoritas fasilitas itu dibangun melalui dana tanggung sosial dan lingkungan PLN. Sejak 2019 hingga kini, PLN rutin menyalurkan bantuan ke destinasi itu.
"Jika ditotal, sudah lebih dari Rp 600 juta. Itu termasuk hadiah yang kami dapat saat meraih penghargaan Indonesian CSR Awards 2020 kategori platinum," tambah Naning.
Berkat besarnya peran PLN, tak berlebihan bila destinasi tersebut memakai embel-embel nama "listrik" sebagai daya pikat wisatawan.
Menurut ibu dua anak itu, peran PLN dalam pengembangan destinasi agrowisata cukup besar. Selain sarana-prasarana, keberadaan listrik yang tersalur di kebun untuk menyinari pohon buah naga juga berperan signifikan.
Agrowisata Naga Listrik dirintis sekitar 2009. Saat itu, instalasi listrik belum terpasang. Belum ada lampu-lampu yang membantu proses fotosintesis. Perkebunan masih bersifat konvensional mengandalkan musim panen alami.
Alhasil, wisata petik buah hanya bisa dinikmati saat musim panen yang durasinya cukup pendek. Wisatawan yang datang di luar musim itu akan kecele karena tak ada buah yang bisa dipetik.
"Sejak pakai lampu lima tahun terakhir, buah tumbuh sepanjang tahun. Kapan saja wisatawan datang, mereka bisa memetik buah," terangnya.
Agrowisata Naga Listrik berada di kebun yang lokasinya sekitar 100 meter dari jalan utama menuju Pantai Pulau Merah, salah satu destinasi wisata kondang di Banyuwangi.
Jarak agrowisata dengan Pantai Pulau Merah hanya sekitar 10 kilometer (km) atau 20 menit perjalanan dengan kendaraan roda dua maupun empat. Kedekatan jarak ini membuat agrowisata biasa dijadikan jujukan pelancong yang berlibur di Banyuwangi Selatan.
Selain dua destinasi itu, wisatawan juga bisa menyusuri destinasi lain seperti Hutan De Djawatan, Pantai Teluk Hijau, Pantai Mustika, dan pusat penangkaran penyu di Pantai Sukamade.
"Setiap akhir pekan, jumlah pengunjung rata-rata 500 orang per hari. Banyak juga yang dari luar pulau, seperti Sumatera, Kalimantan, hingga Papua," ucap Naning.
Banyaknya wisatawan menimbulkan efek domino bagi masyarakat. Mereka turut berkontribusi menyuplai berbagai kebutuhan wisatawan. Saat banyak wisatawan ingin memborong buah naga, Naning akan meminta petani sekitar untuk memasok.
Puluhan pelaku UMKM juga biasa berjualan di sekitar Agrowisata Naga Listrik. Warga juga mulai banyak yang mengembangkan jajanan olahan buah naga. Salah satu yang populer adalah dodol.
Anggota Pokdarwis membuat dodol menggunakan kompor induksi yang – lagi-lagi – didapat dari bantuan tanggung jawab perusahaan PLN. Menurut Naning, penggunaan kompor tersebut lebih menguntungkan daripada penggunaan kompor gas elpiji. Meski, daya yang dibutuhkan untuk menghidupkan kompor tersebut tidaklah kecil.
"Tapi lebih hemat. Sebulan kira-kira habis Rp 100 ribu. Itu juga buat yang lain-lain, seperti peralatan rumah tangga," katanya.
Saat elpiji susah didapat, mereka juga tak risau. Kompor tetap bisa digunakan selama tak terjadi pemadaman.
Naning mengakui, merintis Agrowisata Naga Listrik tak mudah membalikan telapak tangan. Ketika pandemi Covid-19, destinasi praktis tak dikunjungi orang.
Akan tetapi, perputaran uang tetap berjalan. Kebutuhan pasar yang besar akan buah-buahan, termasuk buah naga, membuat pengelola kebanjiran pesanan.
Butuh waktu yang cukup panjang dan berliku, memang, dalam mengembangkan Agrowisata Naga Listrik. Tak sesederhana merapal kalimat-kalimat mantra seperti para penyihir di serial film televisi.
Terbesar di Indonesia
PENGGUNAAN sinar lampu pada tanaman buah naga membuat produktivitas tanaman ini meningkat pesat. Data Dinas Pertanian dan Pangan Banyuwangi menyebut, produktivitas buah naga bisa naik dua hingga tiga kali lipat saat petani memanfaatkan lampu untuk membantu proses fotosintesis tanaman.
Produktivitas buah naga dengan model pertanian konvensional hanya menghasilkan rata-rata 14 ton buah per hektare setiap tahun.
"Dengan menggunakan lampu, produktivitasnya bisa meningkat menjadi rata-rata 26 ton per hektare per tahun," kata Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Banyuwangi Ilham Juanda.
Tingginya produktivitas itu, Ilham menjelaskan, membuat Banyuwangi menjadi daerah pemasok buah naga terbesar di Indonesia. Luas perkebunan tanaman itu mencapai 3.786 hektare yang tersebar di beberapa kecamatan, yakni Purwoharjo, Bangorejo, Tegaldlimo, Siliragung, dan Pesanggaran.
Jumlah luasan lahan itu naik hampir tiga kali lipat dalam lima tahun terakhir. Pada 2018, luasan lahan buah naga di Banyuwangi hanya 1.362 hektare.
Pada Maret 2022, buah Naga asal Banyuwangi juga telah merambah ke pasar luar negeri. Pelepasan ekspor perdana dikirim ke beberapa negara di Asia dan Eropa.
Pesatnya pengembangan buah naga di Banyuwangi tak bisa dilepaskan dari peran PLN setempat. Program listrik masuk kebun membuat petani buah naga lebih produktif. Data per 12 Desember 2023 menunjukkan, sebanyak 7.559 petani buah naga di Banyuwangi telah menikmati sambungan listrik di lahan mereka. Jumlah itu setara dengan 82,7 persen dari total petani buah naga di daerah ujung timur Pulau Jawa itu.
“Untuk total daya, kami menyalurkan sebesar 29,799 juta VA,” kata Manajer PLN UP3 Banyuwangi Agus Santoso.
Selain meningkatkan produksi, kehadiran program listrik masuk kebun juga membuat minat petani untuk menanam buah naga makin besar. Dari tahun ke tahun, luasan lahan tanaman itu bertambah signifikan.
Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur
(Aflahul Abidin/TribunJatimTimur.com)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.