Makan Bergizi Gratis

Dosen Gizi Ungkap Risiko Penggantian Menu MBG dengan Jajanan Kemasan

Perbincangan hangat di media sosial terkait penggantian menu Makanan Bergizi Gratis dengan snack mendapat perhatian dari kalangan akademisi

Penulis: Sulfi Soviana | Editor: Sri Wahyunik
Surya / dokumen pribadi
AKADEMISI - Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Lailatul Muniroh SKM MKes. Dia menilai kebijakan penggantian MBG dengan jajanan kemasan berisiko tinggi terhadap kesehatan penerima manfaat program. 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, SURABAYA – Perbincangan hangat di media sosial terkait penggantian menu Makanan Bergizi Gratis (MBG) dengan snack atau jajanan kemasan mendapat perhatian dari kalangan akademisi. 

Dosen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), Lailatul Muniroh SKM MKes, menilai kebijakan ini berisiko tinggi terhadap kesehatan penerima manfaat program.

Lailatul menjelaskan, MBG idealnya harus memenuhi seluruh kebutuhan zat gizi makro dan mikro sesuai dengan sasaran program. 

Sementara itu, snack hanya layak dikonsumsi sebagai selingan antara dua waktu makan utama dan tidak bisa menggantikan posisi makanan pokok.

“Porsi snack idealnya hanya memenuhi 10 persen dari total kalori sehari. Namun snack dapat menggantikan makanan utama secara terbatas dan terkontrol dalam situasi tertentu. Misalnya pada lansia, pasien pasca operasi, atau orang sakit yang tidak sanggup mengonsumsi makanan utama. Dalam kondisi ini, snack padat gizi dapat menggantikan makanan utama sementara waktu sampai kondisi kesehatan membaik,” jelasnya.

Baca juga: Ruwatan Murwakala Kearifan Lokal Bojonegoro, Diangkat dalam Festival Geopark 2025

Ia mengingatkan bahwa penggantian MBG secara konsisten dengan snack rendah gizi berpotensi menimbulkan dampak negatif, baik dalam jangka pendek maupun panjang. 

Dalam jangka pendek, konsumsi snack rendah gizi bisa menurunkan energi dan asupan nutrisi, yang berdampak pada konsentrasi dan produktivitas anak.

Snack tinggi gula atau garam memang memberi rasa kenyang cepat, tapi tidak bertahan lama. Akibatnya, kebutuhan gizi harian tidak terpenuhi. Jika ini berlangsung terus-menerus, risiko jangka panjangnya adalah gizi kurang, anemia, hidden hunger karena kekurangan zat gizi mikro, dan meningkatnya penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2 dan hipertensi,” paparnya.

Meski mengakui sisi praktis snack kemasan, Lailatul menekankan pentingnya tidak mengorbankan prinsip gizi.

Ia menawarkan solusi berupa penyediaan snack padat gizi atau nutrient-dense snacks.

“Snack tidak harus identik dengan makanan ringan rendah kalori. Justru, snack yang dirancang dengan prinsip gizi seimbang bisa menjadi solusi saat makanan utama tidak tersedia. Namun yang seperti ini tidak boleh terjadi terus menerus karena tidak ada kondisi darurat yang ‘memaksa’ snack menggantikan makanan utama,” tegasnya.

Untuk memastikan efektivitas program MBG, ia mendorong pemerintah agar membuat kebijakan yang terintegrasi dan berbasis sains. 

Rekomendasinya antara lain meliputi penetapan standar gizi nasional, integrasi data stunting, alokasi dana khusus, serta pemanfaatan pangan lokal bergizi tinggi.

“Libatkan ahli gizi dalam setiap intervensi, lakukan pemantauan secara menyeluruh dari input, proses, hingga output, dan tindak lanjuti hasil monitoring dengan rencana aksi yang konkret,” ujarnya.

Lailatul mengingatkan, praktik penggantian MBG dengan snack yang tidak sesuai prinsip gizi dapat berujung pada konsekuensi serius bagi masa depan bangsa. 

Baca juga: Kepengurusan TITD Kwan Sing Bio Tuban Ditolak, Go Tjong Ping Surati Presiden

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved