Liputan Khusus Ketahanan Pangan Pasuruan

Dampak PMK Produksi Susu Menurun, Puluhan Ribu Peternak Sedang Berusaha Bangkit

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pasuruan drh Ainul Arfiyah mengatakan, produksi susu di Kabupaten Pasuruan menurun drastis.

Penulis: Galih Lintartika | Editor: Haorrahman
TribunJatimTimur/Galih Lintartika
Peternakan sapi di Pasuruan. 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Pasuruan - Kabupaten Pasuruan memang menjadi salah satu Kabupaten penghasil susu terbesar di Jawa Timur. Dari data yang didapatkan di Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pasuruan, produksi susu mencapai 97 ton per tahun pada 2023.

Kondisi ini turun dibandingkan tahun - tahun sebelumnya yang bisa mencapai 100 juta ton per tahunnya. Penyebab turunnya produksi susu ini disebabkan karena wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) yang sempat menyerang di tahun 2021-2022.

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Pasuruan drh Ainul Arfiyah mengatakan, produksi susu di Kabupaten Pasuruan menurun drastis sejak wabah PMK masuk di Kabupaten Pasuruan.

Bahkan, sampai sekarang, dampaknya masih belum hilang. Menurutnya, wabah itu memang sudah bisa tertangani, tapi produksi susu masih belum bisa pulih seutuhnya karena dampak PMK tersebut.

Ia menyebut, penurunan produksi susu ini hampir terjadi di semua kecamatan penghasil susu. Misalnya saja Puspo, Tutur, Lumbang, Grati, Lekok, Purwodadi, dan Purwosari. Penurunan produksi susu hampir 30 persen dibanding sebelum PMK.

Misalnya saja Tutur. Sebelum wabah PMK, para peternak bisa menghasilkan susu 125 ton per harinya. Namun sejak PMK, produksi susu menurun drastis. Produksi per hari hanya di angka 80 - 90 ton saja.

"Kondisi ini hampir merata dialami para peternak sapi di Kabupaten Pasuruan. Dampak PMK memang masih sangat terasa sampai sekarang. Saat ini, peternak dalam kondisi berusaha bangkit lagi," katanya, November 2024.

Baca juga: Debat Publik Kedua Pilkada Jember 2024, Pendukung Paslon Teriakkan Nama Prabowo dan Mega

Sekadar informasi, peternak sapi perah di Kabupaten Pasuruan ini kurang lebih 27 ribu peternak. Dan populasi sapi perahnya bisa lebih dari total peternaknya, karena satu peternak bisa memiliki sapi lebih dari 3-5 ekor.

Belum lagi, kata dia, banyaknya peternak yang belum bisa mengembalikan kondisi sapi - sapi miliknya yang meninggal akibat PMK. Saat wabah melanda, ada sapi milik peternak yang hanya sakit, tapi banyak yang juga meninggal.

“Populasi sapi yang meninggal juga cukup banyak di Pasuruan karena sebagian besar penduduk Pasuruan itu peternak sapi perah dan sapi daging. Ini yang membuat kami belum bisa bangkit,” sambungnya.

Dia mengatakan, setelah PMK tidak serta merta kondisi sapi-sapi milik peternak itu pulih. Secara fisik, kondisi sapi memang sehat, virusnya sudah mati. Tapi, efek dari terjangkit virus itu, reproduksi sapi tidak bisa maksimal.

Menurut Ainul, sapi yang awalnya bisa memproduksi susu 10 liter per hari, karena terserang PMK, produksinya tidak lebih dari tujuh liter sehari. Produktivitas sapi tidak seperti sebelum terkena PMK.

“Solusinya ya semua sapi yang terkena PMK ini diganti. Peternak harus menjual sapi - sapi mereka yang sudah tidak lagi produktif karena PMK menjadi potong, dan membeli sapi perah yang baru,” jelasnya.

Jika solusi itu yang diambil, kata dia, muncul masalah baru. Menurutnya, tidak semua peternak mau menjual sapi mereka dan menggantinya dengan sapi perah baru karena alasan yang sangat fundamental yakni biaya.

“Memang harga sapi tidak murah. Maka, para peternak yang tidak memiliki modal untuk membeli sapi perah baru dengan menjual sapi perah yang terdampak PMK itu menolak. Peternak tidak punya biaya tambahan untuk beli sapi baru," terangnya.

Baca juga: Risma Siap Buktikan Perubahan di Jawa Timur, Keberhasilan di Surabaya Langkah Awal 

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved