Pemilihan Presiden

MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Pengamat Politik: Berdampak Positif

Dalam kacamata politik, langkah MK tersebut dinilai sebagai putusan progresif. 

Editor: Haorrahman
TribunJatimTimur.com/youtube
Surokim Abdussalam, pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, SURABAYA - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas pencalonan Presiden atau Presidential Threshold 20 persen, memberikan kejutan bagi publik di awal tahun 2025 ini. Dalam kacamata politik, langkah MK tersebut dinilai sebagai putusan progresif. 

Dalam aturan sebelumnya, hanya parpol pemilik kursi 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional pemilu legislatif sebelumnya yang bisa mengajukan calon presiden dan wakil presiden.

Baca juga: Ada 11 Titik Longsor di Kelok 9 Jalur Lintas Selatan Malang

"Secara substantif, putusan ini sangat progresif," kata Pengamat Politik dari Universitas Trunojoyo Madura (UTM) Surokim Abdussalam saat dihubungi dari Surabaya, Kamis (2/1/2025). 

Secara umum, Surokim menilai putusan ini positif sekaligus juga menjadi tantangan ke depan. Dari sisi positif, hal ini akan menguntungkan publik. Sebab, Pilpres berpotensi memunculkan banyak pasangan calon sehingga menyuguhkan alternatif pilihan kepada pemilih. 

Baca juga: Cuaca Ekstrem, Dihimbau Kecepatan Kendaraan Maksimal 60 Km Per Jam di Jembatan Suramadu

Bahkan, Surokim menyebut, pilihan rakyat menjadi faktor utama dalam kedaulatan memilih paslon dibanding saat berlakunya presidential threshold 20 persen dimana parpol dominan dalam memutuskan pasangan yang akan diusung. Tidak akan ada lagi parpol yang dominan. 

"Ini sekaligus memukul telak kekuatan dan dominasi partai besar yg selama ini dominan dalam pengusulan paslon. Daulat publik benar-benar diberi ruang oleh MK dan kuasa parpol besar dipreteli signifikan," ujar Surokim yang merupakan Peneliti Senior Surabaya Survey Center (SSC). 

"Bagaimanapun publik patut menyambut baik putusan ini , daulat publik dikembalikan dalam posisi semestinya. Beragam intrik, patgulipat, dominasi, darkzone parpol akan hilang dengan sendirinya dan kuasa parpol dalam pencalonan pilpres tidak lagi menentukan. Semua punya peluang yang sama," tambah Surokim. 

Meski demikian, hal ini menjadi tantangan. Misalnya secara teknis penyelenggaraan. Sebab, akan banyak calon yang dimunculkan sehingga membuat Pemilu kian kompleks. Sebagai gambaran, pada Pemilu 2024 lalu, diikuti oleh 18 partai politik. 

Baca juga: Pemkab Jember Targetkan PAD Rp 1 Triliun di 2025

Dengan tanpa ambang batas, tentu ke depan seluruh parpol punya kesempatan untuk mendaftarkan paslon. Bisa jadi ada 18 paslon. Sehingga, perlu dipikirkan lebih jauh mengenai pelaksanaan kontestasi Pilpres mendatang. "Secara teknis penyelengaraan Pemilu akan kian kompleks dan tidak sesederhana yang dibayangkan," terang Surokim. 

Sebelumnya diberitakan, MK memutuskan menghapus ambang batas atau presidential threshold dalam persyaratan pengajuan pencalonan pemilihan presiden dan wakil presiden. Putusan ini merupakan permohonan dari perkara 62/PUU-XXII/2024, yang diajukan Enika Maya Oktavia dan kawan-kawan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. 

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di ruang sidang utama, Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

MK menyatakan pengusulan paslon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. 

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan frasa ‘perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya’ dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah nasional atau persentase jumlah kursi DPR di pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Selain itu MK menilai penentuan besaran ambang batas itu tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. Satu hal yang dapat dipahami Mahkamah, penentuan besaran atau persentase itu lebih menguntungkan parpol besar atau setidaknya memberi keuntungan bagi parpol peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR.

Baca juga: Jaksa Mulai Periksa Dugaan Korupsi PBB Desa Tanjungsari Jember 

MK menyatakan penentuan ambang batas pencalonan pilpres itu punya kecenderungan memiliki benturan kepentingan. Mahkamah juga menilai pembatasan itu bisa menghilangkan hak politik dan kedaulatan rakyat karena dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan paslon.

Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved