Opini

Big Data dan Etika: Mengapa Kita Harus Kritis dalam Era Datafikasi

Pernahkah Anda bertanya ke mana perginya data pribadi Anda setelah mengakses aplikasi kesehatan?

|
Dokumen Smartlink
Ilustrasi gadget sebagai bagian digitalisasi 

Data menyangkut kehidupan manusia, bukan sekadar statistik: di balik setiap byte data, ada orang dengan hak, preferensi, dan kebutuhan. Oleh karena itu, penggunaan data harus menghormati martabat dan otonomi individu, bukan memperlakukannya sebagai objek pasif.

Klaim “kebaikan bersama” bisa bias dan eksklusif: Siapa yang mendefinisikan “kebaikan”? Pemerintah? Perusahaan teknologi? Tanpa melibatkan suara masyarakat, konsep ini bisa menjustifikasi pengawasan, diskriminasi, atau pengambilan keputusan yang tidak adil atas nama efisiensi.

Keadilan data hanya bisa dicapai melalui partisipasi: Dalam etika diskursus, keputusan yang sah secara moral adalah keputusan yang bisa diterima secara rasional oleh semua pihak yang terdampak. Ini menuntut keterbukaan terhadap keberatan, kritik, dan alternatif.

Bagaimana Etika Diskursus Dapat Diterapkan di Indonesia?

Kebijakan digital seperti MyPertamina, Satu Data Indonesia, hingga e-KTP harus memiliki dokumen publik yang menjelaskan terkait data apa yang dikumpulkan, siapa yang mengelola, untuk tujuan apa, dan bagaimana masyarakat dapat memberikan atau mencabut persetujuan. Masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas digital perlu dilibatkan dalam: perumusan kebijakan data, penilaian dampak etis (ethical impact assessment), dan pengawasan penggunaan data oleh pihak pemerintah atau swasta. 

Sebuah contoh adalah pelibatan organisasi masyarakat sipil seperti ELSAM dalam konsultasi publik mengenai UU PDP. Praktik ini perlu diperluas secara sistematis di tingkat pusat dan daerah. Pengguna layanan public juga harus memiliki hak untuk mengetahui bagaimana datanya diproses, hak untuk memperbaiki kesalahan dalam data, dan hak untuk menolak pemrosesan data tertentu.

Etika diskursus mendorong pengakuan bahwa warga negara bukan sekadar objek pengawasan atau pelayanan, tetapi subjek moral dan politik yang berhak menentukan bagaimana data mereka digunakan karena digitalisasi bukanlah proyek netral. Di dalamnya terkandung nilai, asumsi, dan kepentingan, Oleh karena itu, tidak cukup hanya mempercepat integrasi dan efisiensi; kita perlu memperlambat sejenak untuk mendengar, mempertimbangkan, dan bernegosiasi secara etis.

Etika diskursus bukanlah hambatan bagi inovasi, melainkan jalan untuk memastikan bahwa inovasi digital tetap menghargai prinsip-prinsip demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial. Tanpa diskursus publik, klaim “untuk kebaikan bersama” bisa berubah menjadi “kebaikan bagi segelintir”.
Kesimpulan: Saatnya Bangun Kesadaran Kritis

Era big data membawa manfaat besar, tapi juga menyimpan risiko besar jika tidak dikawal secara etis dan demokratis. Kajian kritis terhadap praktik big data bukanlah bentuk penolakan teknologi, melainkan cara untuk memastikan bahwa perkembangan digital tetap selaras dengan keadilan, transparansi, dan hak asasi manusia. Di Indonesia, dengan cepatnya laju digitalisasi, pendekatan Critical Data Studies perlu mulai diarusutamakan baik dalam riset akademik, kebijakan publik, maupun literasi digital masyarakat.

Kita hidup di zaman ketika hampir setiap aspek kehidupan terekam sebagai data dari transaksi sehari-hari hingga catatan kesehatan dan preferensi pribadi. Pemerintah, swasta, bahkan institusi akademik berlomba memanfaatkan data demi efisiensi, inovasi, dan kemajuan. Namun, di balik semangat digitalisasi itu, terdapat jurang etika dan keadilan yang harus kita hadapi secara sadar dan kritis.
Melalui pendekatan Critical Data Studies, kita diajak memahami bahwa data bukan sekadar angka netral, tetapi hasil dari proses sosial, ekonomi, dan politik yang penuh bias dan kepentingan. Etika dalam penggunaan big data bukanlah pelengkap, melainkan syarat utama bagi keberlanjutan sistem digital yang adil dan demokratis.

Indonesia saat ini berada di persimpangan jalan: antara mengejar efisiensi digital semata, atau membangun sistem data yang berbasis partisipasi, transparansi, dan penghormatan terhadap hak individu. Undang-undang dan teknologi saja tidak cukup; kita butuh diskursus publik yang melibatkan warga sebagai subjek, bukan objek dari kebijakan data.

Digitalisasi yang baik harus disertai dengan demokratisasi data di mana masyarakat memiliki kontrol, pilihan, dan suara atas bagaimana data mereka digunakan. Hanya dengan begitu, transformasi digital tidak hanya akan canggih secara teknis, tapi juga beradab secara moral dan adil secara sosial. (*)

Oleh:

Adhitya Putra

(Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Dapatkan informasi lainnya di Googlenews, klik : Tribun Jatim Timur

(TribunJatimTimur.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved