Berita Jember

Ketua PP Muhammadiyah Bicara Politik Identitas di Jember, Ada yang Dikedepankan dan Disembunyikan

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berbicara tentang politik identitas saat berada di Jember, di sela peresmian RSU Unmuh Jember

Penulis: Imam Nawawi | Editor: Sri Wahyunik
TribunJatimTimur.com/Imam Nawawi
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir berpidato di peresmian RS Universitas Muhammadiyah Jember, Sabtu (11/3/2023) 

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, JEMBER - Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir rupanya juga menyingung isu politik identitas saat memberikan sambutan pada acara Milad ke-42 dan peresmian Rumah Sakit Umum Universitas Muhamadiyah Jember, Sabtu (11/3/2023).

Menurutnya, isu tersebut sering dibuat retorika oleh para tokoh agama. Seakan umat muslim ini terpeta- petakan. Padahal semua orang punya Identitas.

"Muncul belakangan ini politik identitas. Ini politik identitas, ini tidak politik identitas. Padahal semuanya punya identitas, hanya saja ada yang dikedepankan, ada yang disembunyikan," ujarnya, Sabtu (11/3/2023).

Pria yang akrab disapa Buya Haedar ini mengaku memahami betul teori politik 'front stage' dan 'back stage'. Kata dia, hal itu berupa apa yang layak dikedepankan dan apa harus disembunyikan.


"Bilang tidak politik identitas. Tetapi setiap tokoh dengan kekuatan politik selalu datang ke pesantren. Padahal itu politik identitas jelas, untuk merebut hati kaum santri," paparnya.

Hal itu membuat demokrasi negara menjadi membelah. Sehingga, lanjut Haedar, diperlukan pentingnya kesadaran persatuan, sebagai komitmen bersama,  termasuk Muhammadiyah.

Baca juga: Banyuwangi Gelar Festival Cokelat Glenmore, Diawali Kakao Run Telusuri Lansekap Perkebunan

"Bagaimana mewujudkan kesatuan yang tulus, kesatuan dalam koridor lebih objektif rasional. Bangsa yang besar dan majemuk tidak bisa betul-betul utuh. Makanya sering disebut pluralis, atau kebhinekaan seperti air dan minyak," imbuhnya.

Namanya air dan minyak tidak mungkin bisa bersatu. Tetapi kata dia, Indonesia punya sistem untuk menyatukannya. Contohnya, kenapa bahasa daerah hingga kini masih hidup.

"Karena ada bahasa nasional yang menyatukan, yakni bahasa Indonesia. Perbedaan agama tidak perlu setiap hari beribadah di tempat masing-masing, atau ikut nyapu halaman masing-masing. Itu hal yang teknis. Tetapi ada kesadaran bersama untuk saling menghormati, itu persatuan dewasa," kata Haedar lagi.

Haedar menilai terkadang orang itu selalu fokus pada hal-hal yang nampak terlihat secara fisik. Tetapi ketika berkaitan masalah fundamental, justru tidak siap.

"Contohnya ada rumah ibadah yang tidak bisa berdiri, tahu-tahu sudah ke internasional. Padahal hal yang sama  kelompok mayoritas masyarakat juga tidak mudah bangun tempat ibadah, nah harus ada mekanisme sistem aturan, itu yang harus dibangun," tuturnya.

Oleh karena itu sebenarnya, lanjut Haedar keberadaan rumah sakit, perguruan tinggi maupun organisasi sosial, mampu menyatukan perbedaan itu.

"Muhammadiyah dengan keterbatasannya, bisa bangun rumah sakit dan perguruan tinggi. Sebenarnya untuk menyatukan. Di Papua dan NTT, perguruan tinggi, maupun sekolah menengah mayoritas siswa dan mahasiswanya dari saudara-saudara kita non-islam, 80 persen," katanya.

" Sadar atau tidak sadar, itu adalah wujud untuk sistem Bhineka Tunggal Ika lewat pranata pendidikan," tegasnya.

 


(TribunJatimTimur.com)

 

 

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved